Pink tax sejatinya merupakan istilah yang sering dikaitkan dengan diskriminasi harga berdasarkan gender. Gampangnya, pink tax mengacu pada selisih harga lebih mahal yang harus dibayar mayoritas perempuan dibandingkan pria ketika membeli barang maupun jasa. Kenapa pink? Karena warna ini dianggap paling mewakili kaum hawa, meskipun kenyataannya tidak selalu demikian.
Pada 2015, diskriminasi harga berbasis gender atau pink tax sempat menjadi pembicaraan hangat pasca Departemen Urusan Konsumen Kota New York (New York City Department of Consumer Affairs), mempublikasikan hasil studinya yang terkait disparitas harga antara produk perempuan dan laki-laki. Studi berjudul "From Cradle to Cane: The Cost of Being a Female Consumer" itu menemukan bahwa rata-rata produk perempuan harganya 7% lebih mahal dibanding produk laki-laki untuk jenis produk yang serupa atau bahkan identik.
Makalah Diskriminasi Harga
Studi tersebut mengungkap sejumlah produk perempuan dan laki-laki yang sejenis dengan fungsi yang sama, namun harganya berbeda. Sebagai contoh, harga pisau cukur. Pisau cukur tanpa titanium bebas karat, tidak ada strip pelembab dan hanya memiliki pisau tunggal. Versi laki-laki berwarna biru dan versi perempuan warnanya pink. Hanya warna yang membedakan kedua produk tersebut, selebihnya sama persis. Namun, harga pisau cukur pink lebih mahal dibanding yang berwarna biru. Begitu juga dengan produk pakaian. Salah satu brand ternama tertangkap basah menerapkan pink tax dengan menetapkan harga yang lebih mahal untuk pakaian perempuan plus size (ukuran besar) namun tidak untuk pakaian laki-laki. Sebagai contoh, jeans perempuan plus size harganya lebih mahal USD 12-15 dibanding ukuran standar. Sementara tidak ada perbedaan harga antara jeans laki-laki plus size dan ukuran biasa.
Menurut Gubernur New York Andrew Cuomo, proposal penghapusan pink tax akan menjadi agenda di 2020 ini. Dengan adanya proposal penghapusan pink tax, maka dimungkinkan adanya aturan yang melarang penetapan harga berdasarkan gender untuk produk-produk perempuan dan laki-laki yang serupa. Penghapusan pink tax diharapkan dapat menghilangkan diskriminasi pada perempuan.
Ternyata banyak perempuan yang tidak sadar akan keberadaan pink tax. Karena mereka juga tidak pernah ambil pusing untuk membandingkan harga produk barang maupun jasa bagi perempuan dan laki-laki. Inilah yang dimanfaatkan industri hingga mereka berani mencantumkan harga yang lebih mahal untuk produk perempuan. Konsumen perempuan telah dikondisikan untuk mengabaikan perbedaan harga antara produk mereka dan produk laki-laki untuk jenis barang yang sama.
Ketika suatu produk dilabeli sebagai "untuk laki-laki," hal ini menciptakan hambatan pembelian implisit untuk perempuan. Mereka memandang produk-produk ini "bukan untuk saya". Selain itu, produk-produk gender terkadang disimpan secara terpisah untuk mengaburkan perbedaan harga.
Industri juga meyakini bahwa perempuan cenderung kurang sensitif terhadap harga sehingga bersedia membayar lebih. Produsen dan retailer cukup tahu, jika mereka mencoba menaikkan harga pisau cukur atau shampoo, laki-laki pasti akan memilih berbelanja di tempat lain atau berhemat dengan tidak membeli produk tersebut. Sementara perempuan, tetap rela membayar harga yang lebih tinggi.
Memang, harga barang ditentukan dari biaya produksi dikombinasikan dengan apa yang bersedia dibayar oleh pelanggan. Dan terkadang perusahaan memang harus mengeluarkan dana produksi yang lebih banyak untuk pengembangan produk-produk perempuan. Namun, perusahaan-perusahaan ini juga menghabiskan banyak uang untuk melakukan pemasaran agar produk yang menarget kaum hawa menjadi lebih menarik--tanpa sadar konsumen perempuan membayar lebih dibanding laki-laki, untuk sebuah produk yang sama. Sayangnya, mereka berhasil. (Ken/Ags)
Diskriminasi harga mengacu pada pengenaan harga berbeda untuk produk atau jasa yang sama, kepada kelompok pelanggan yang berbedaatau dalam pasar yang berbeda. Diskriminasi harga internasional disebut dumping. Dalam dumping, kurang elastisitas dibanding di luar negeri. Produsen menjual suatu komoditas lebih mahal di dalam negeri dibandingkan dengan kurva permintaan pasarnya.
Menurut Rina Oktaviani, dkk dalam buku Kebijakan Perdagangan Internasional (Aplikasinya di Indonesia) (2014), dumping adalah bentuk diskriminasi harga internasional oleh sebuah perusahaan atau negara pengekspor.
Diskriminasi harga adalah strategi mikroekonomi yang banyak dijalankan oleh para produsen. Dalam diskriminasi harga, sebuah produk dijual dengan harga yang berbeda, di pasar yang berbeda. Jadi untuk satu produk yang sama, dua orang pembeli bisa mendapatkan harga berbeda.
Hukum Perdata di Indonesia menetapkan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki hak kepemilikan yang sama. Perempuan di Indonesia memiliki hak hukum untuk akses ke properti, tanah dan memiliki akses ke pinjaman bank dan kredit, meskipun terkadang masih terdapat diskriminasi di beberapa bagian contohnya: suami berhak untuk memiliki nomor pajak pribadi, sedangkan istri harus dimasukkan nomor pajak mereka dalam catatan suami.
Dalam beberapa hari terakhir, media massa gencar memberitakan rencana pemerintah mengendalikan penggunaan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Isu ini mendominasi sekitar 40% dari total pemberitaan tentang Kemenhub atau yang berkaitan dengan fungsi dan tugas Kemenhub. Isu tentang rencana pembatasan penggunaan BBM bersubsidi diangkat media massa nasional, dimana sebagian besar media massa masih memuat tentang polemik jadi tidaknya penerapan kebijakan pembatasan penggunaan BBM Bersubsidi. Media massa lebih banyak menyoroti tentang kelemahan atau hambatan yang mungkin akan dihadapi pemerintah dalam menerapkan kebijakan pembatasan penggunaan BBM bersubsidi dengan opsi memaksa kendaraan bermotor menggunakan bahan bakar gas dan pertamax. Dari sejumlah opsi pengendalian BBM bersubsidi yang disiapkan pemerintah, ada dua opsi yang paling berpeluang diterapkan. Pertama, membatasi konsumsi BBM bersubsidi jenis premium di Jawa-Bali secara bertahap mulai 1 April 2012. Kedua, menaikkan harga BBM bersubsidi jenis premium secara bertahap. Opsi-opsi tersebut akan diikuti program konversi bahan bakar kendaraan bermotor dari BBM ke bahan bakar gas (BBG) dalam bentuk compressed natural gas (CNG) dan liquefied gas for vehicle (LGV) atau Vi-Gas.
Diskriminasi Harga atau Price discrimination adalah suatu kebijakan di mana penjual itu membebankan harga berbeda untuk tiap-tiap pelanggan atau pun kelompok pelanggan. Penjual kemudian menetapkan harga sedemikian rupa sehingga 2 pembeli yang bersaing membayar 2 harga yang berbeda untuk produk atau pun juga layanan yang sama.
Diskriminasi harga ini akan sangat menguntungkan apabila pelanggan yang berbeda itu mempunyai elastisitas permintaan yang berbeda. Dengan demikian, pendapatan marjinal pada kelompok yang berbeda itu akan sama hanya harga di tiap-tiap kelompok bervariasi.
Pada saat diskriminasi harga itu dilakukan guna mengurangi persaingan, misalnya dengan cara mengikat harga yang lebih rendah untuk pembelian barang atau pun jasa lain, maka hal ini biasanya akan dikenakan pelanggaran peraturan anti-monopoli.
Diskriminasi harga tingkat pertama atau disebut juga dengan diskriminasi harga sempurna terjadi pada saat sebuah perusahaan bisa membebankan harga tertinggi yang bersedia serta juga bisa dibayarkan kepada tiap-tiap individu.
Contoh kasus, pelanggan A itu bersedia membayar Rp50, dan bagi pelanggan B bersedia membayar Rp80. Kemudian perusahaan tersebut akan mengenakan harga IDR 50 untuk pelanggan A serta Rp 80 untuk pelanggan B. Dengan cara itu; perusahaan kemudian akan mendapat untung maksimal.
Karena hal tersebut memberlakukan harga tertinggi yang bersedia dibayar oleh pelanggan, surplus konsumen tiap-tiap individu ialah nol. Dan, secara total, diskriminasi harga sempurna ini memungkinkan produsen untuk kemudian mengubah total surplus konsumen itu menjadi surplus produsen.
Dua kriteria tersebut harus dipenuhi supaya perusahaan memberlakukan diskriminasi sempurna. Pertama, perusahaan tersebut harus mengukur serta juga mengetahui dengan pasti harga maksimum yang bersedia dibayarkan tiap-tiapindividu. Kedua, perusahaan bisa atau dapat mencegah penjualan kembali barang antar individu. Di dalam contoh di atas, perusahaan itu mencegah pelanggan A (yang membeli dengan harga murah) dari menjual ke pelanggan B (yang membeli dengan harga lebih tinggi). Agaknya, kedua persyaratan tersebut sulit dipenuhi. Oleh karena itu, diskriminasi harga yang sempurna ini akan sulit dipraktikkan di dunia nyata.
Di dalam jenis diskriminasi ini, perusahaan kemudian memakai volume pembelian sebagai indikator kesediaan di dalam membeli. Volume pembelian tersebut juga menunjukkan bagaimana pelanggan tersebut menilai suatu produk atau jasa. Pada saat membeli dalam jumlah besar, pelanggan kemudian dianggap sangat menghargai produk serta oleh karena itu, bersedia untuk membayar harga yang lebih tinggi per unit.
Diskriminasi ini bisa terjadi apabila sebuah perusahaan itu bisa atau dapat mengelompokkan pelanggan ke dalam segala macam segmen dengan berdasarkan variabel geografis atau pun juga variabel non-volume lainnya. Perusahaan akan membebankan harga yang lebih tinggi kepada 1 kelompok pelanggan sementara itu akan meberikan harga yang lebih rendah ke kelompok lain.
Biaya transportasi yang tinggi tentu akan mengurangi margin keuntungan yang diperoleh dari penjualan kembali barang-barang, mendukung keberhasilan diskriminasi harga. maka tidak mengherankan, praktik diskriminatif ini lebih berhasil di pasar asing yang berbeda disebabkan karna melibatkan jarak jauh, sehingga tentu akan meningkatkan biaya transportasi.
Keberhasilannya juga tergantung pada biaya peralihan. Pada saat mudah bagi konsumen untuk beralih ke produk pengganti atau pun produk pesaing, maka sulit bagi perusahaan untukbisa mendiskriminasikan harga.
Diskriminasi harga ini tidak mungkin terjadi di dalam persaingan sempurna. Disebabkan karna permintaan pasar di tiap-tiap pasar sangat elastis, perusahaan akan mengambil harga pasar sebagai dasar harga jual produk-produknya. Di dalam jangka panjang, tidak ada peluang bagi perusahaan di dalam mengenakan harga lebih tinggi dari harga pasar. 2ff7e9595c
Comments